12.5.07

8. Musa - Hidup Dalam Penampakan dan Penyertaan Tuhan

8. Musa — Hidup dalam Penampakan dan Penyertaan Allah


Musa adalah orang yang sangat menarik. Ia dilahirkan pada waktu orang-orang Israel berada di bawah penganiayaan orang-orang Mesir. Allah dengan kedaulatan-Nya meletakkan dia di istana Firaun, dan dia dibesarkan sebagai salah seorang anggota keluarga kerajaan, sebagai anak laki-laki putri Firaun. Musa mendengar penderitaan bangsanya di bawah kekuasaan orang-orang Mesir, mungkin mendengarnya dari inang pengasuhnya yang sesungguhnya adalah ibu kandungnya. Berita-berita itu tentu menggerakkan hati Musa. Mungkin Musa berkata, "Orang-orang Mesir telah menganiaya bangsaku." Walaupun Musa berbaik hati, tetapi hati itu adalah hati pengetahuan, hati yang mati. Inilah keadaan di antara banyak orang Kristen hari ini. Banyak yang berbaik hati. Mereka terharu dan ingin melakukan sesuatu untuk Allah. Tetapi Musa berbuat menurut cara dan kekuatannya sendiri. Akibatnya gagal dan ia sangat kecewa. Musa akhirnya menyadari bahwa ia tidak dapat berbuat apa pun; ia begitu kecewa sehingga ia menyerah. Seolah-olah ia berkata, "Aku begitu baik hati terhadap bangsaku, tetapi Allah tidak mau membantuku. Allah tidak menghargai usaha-usahaku. Allah tidak bersertaku, karena itu aku akan melupakan segalanya dan pergi ke padang belantara." Walaupun ia prihatin terhadap kebahagiaan umat Israel, namun ia sedih karena kegagalannya dan melarikan diri ke padang belantara, di sana ia kesepian dan putus asa, serta menjadi penggembala kambing domba. Musa yang dididik dalam segala hikmat orang Mesir dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya (Kis. 7:22), sekarang adalah penggembala kecil di padang belantara, seorang yang kalah dan dirundung dukacita.
Pada suatu hari, di tengah-tengah kekecewaannya, Allah datang. Allah menampakkan diri kepada Musa dalam nyala api di semak belukar; semak belukar menyala tetapi tidak dimakan api (Kel. 3:2, 16). Musa merasa heran dan pergi melihat semak belukar itu. Allah seolah-olah berkata kepada Musa, "Hai Musa, kau harus seperti semak belukar yang menyala ini. Janganlah membakar dengan dirimu sendiri atau berbuat dengan dirimu sendiri. Kamu baik hati, tetapi kamu berbuat menurut prinsip yang salah." Kita boleh memakai sebuah mobil masa kini sebagai contoh. Kita tolol sekali kalau ingin menggerakkan mobil dengan menarik atau mendorongnya. Itu hanya akan membuat kita sangat lelah. Kita harus menggunakan bensin sebagai sumber kekuatan. Ketika bensin terbakar, mobil pun bergerak. Kita harus demikian menjalankan kendaraan. Demikian juga Musa belajar berhenti dari pengetahuannya sendiri, caranya sendiri, tenaganya sendiri, dan aktivitasnya sendiri. Musa mulai belajar hidup di hadirat dan penampakan Allah seperti yang dilakukan nenek moyangnya, ia tidak lagi melakukan dengan dirinya sendiri. Sejak waktu itu, ia bersatu dengan Allah. Untuk memimpin bani Israel keluar dari Mesir. TUHAN berkata kepadanya, "Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketenteraman kepadamu." Dan Musa berkata kepada Tuhan, "Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini" (Kel. 33:14-15). Hal ini menunjukkan Musa mengetahui bahwa bekerja bagi Tuhan perlu adanya penyertaan Tuhan. Ia bergerak dalam penyertaan Allah.
Setelah Musa membawa bani Israel keluar dari Mesir, Allah memanggilnya ke puncak gunung, di sana tinggal se-lama 40 hari. Pada waktu ia berada di puncak gunung, ia benar-benar dicurahi sinar kemuliaan Allah. Tatkala ia turun dari gunung, kemuliaan Allah terpancar dari wajahnya (Kel. 34:29). Pada puncak gunung itu Musa menikmati Allah sepenuhnya sebagai pohon hayat. Walaupun pohon hayat telah lenyap bagi orang-orang yang tidak percaya, tetapi ia muncul kembali kepada orang seperti Musa. Musa menikmati Allah sebagai pohon hayat di gunung kemuliaan.
Musa, seperti Nuh menerima visi bangunan Allah. Ketika ia dalam kemuliaan di atas gunung, Allah memberinya contoh rinci tentang tempat kediaman-Nya di bumi (Kel. 25:9). Jika kita bersatu dengan Allah sewaktu kita melayani-Nya dan bekerja bagi-Nya, pekerjaan kita tidak akan menjadi suatu jerih payah, melainkan suatu kenikmatan. Ketika saya berbicara bagi Tuhan, saya sangat menikmati-Nya. Setiap kali saya selesai menyampaikan berita, saya merasa dikenyangkan. Setiap pelayanan yang dari Allah dan menurut Allah sesungguhnya merupakan makanan bagi pembicara itu sendiri. Musa melayani Allah dan menikmati Allah secara demikian. (PH. Kej)

No comments: